Makalah Hukum Telematika
Pembajakan Software
Oleh
Wibi Cahyo Hastono
1317051071
1317051071
JURUSAN ILMU KOMPUTER
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
Abstrak
Hasil karya yang memang benar-benar orisinil berasal dari olah pikir seseorang atau kelompok tanpa adanya tindakan meniru hasil karya yang sudah ada, yang merupakan hak milik orang lain. Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun adapula sisi hukum pidana. Software atau perangkat lunak juga merupakan termasuk ke dalam hak milik orang yang mana pemilik hak memiliki hak untuk tidak mengizinkan perangkat lunaknya untuk tidak digunakan oleh orang yang tidak memiliki izin khusus dari pemilik software. Namun akhir-akhir ini banyak terjadi kasus pembajakan software khususnya di wilayah Negara berkembang seperti Indonesia, harga software original yang mahal lah yang menjadi salah satu alasan mengapa mereka lebih memilih software bajakan. Selain itu dari sisi kualitas dan permforma, nyaris tidak ada perbedaan antara software bajakan dan original. Dalam era informasi seperti sekarang ini, masalah terbesar yang dihadapi oleh industri komputer adalah mengenai pembajakan software, bagaimana software tersebut dikopi dan didistribusikan merupakan masalah yang harus diatasi oleh industri komputer. Salah satu hal yang membuat pembajakan sangat sulit di berantas adalah sulitnya menjerat pelaku pengedar dan pengguna software bajakan karena memang yang peredaran secara virtual dan bukan di dunia nyata.
A. LATAR BELAKANG
Software merupakan piranti yang mengandung semua instruksi-instruksi elektronik yang memberi tahu komputer bagaimana menjalankan tugas”. Software juga salah satu piranti yang sangat diperlukan komputer selain hardware. Oleh karena piranti tersebut sangat penting, banyak pihak ingin mendapatkan keuntungan dari adanya piranti tersebut dan melakukan pembajakan. Pembajakan merupakan perilaku melanggar hukum karena pembajakan berarti melakukan pencurian terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau lebih dikenal dengan Hak Cipta.
Undang-undang tersebut mengatur tentang perlindungan hasil karya manusia agar karya tersebut memiliki kekuatan hukum apabila diakui oleh pihak lain, termasuk pembajakan. Dalam UU No. 19 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) mengatakan bahwa “ Hak Ciptaadalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaanya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali suku bangsa, yang didalamnya terdapat berbagai macam bahasa, lagu daerah, tari-tarian daerah, maupun hasil kerajinan khas daerah, yang merupakan potensi dan kekayaan yang dimiliki oleh negara kita. Segala kekayaan tersebut sebenarnya merupakan hak kita yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi oleh setiap orang melebihi apapun. Tidak boleh ada negara lain yang meniru dan mengklaim bahwa hal tersebut adalah milik dan kepunyaan mereka. Pada dasarnya manusia itu mempunyai banyak kreativitas dalam menciptakan sesuatu dalam kehidupan sehari – hari yang dilakukan sejak zaman dulu kala.
Pembajakan merupakan hal yang rumit. Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita melihat banyaknya software bajakan yang dijual. Hal itu berlangsung sampai saat ini. Pihak-pihak yang mengkopi dan mendistribusikan software demi meraih keuntungan di atas jerih payah karya orang lain berarti ikut melestarikan budaya membajak dan akhirnya masyarakat berpikir itu hal yang biasa karena berlangsung di banyak tempat dan dikonsumsi oleh banyak orang. Sering kali masyarakat berpikir sesuatu yang dilakukan oleh banyak orang dan berlangsung terus-menerus merupakan hal yang biasa walaupun sebenarnya itu menyalahi aturan. Akan tetapi, masyarakat yang membeli software bajakan tidak terlepas dari mahalnya harga original software. Selain karena mahalnya harga original software, budaya yang tercipta di masyarakat akan pentingnya menghargai hasil karya orang lain belum tertanam dengan baik.
Di Indonesia, pengawasan pemerintah terhadap beredarnya software bajakan seakan dibiarkan saja, tidak ada tindak tegas terhadap mereka yang melakukan pembajakan atau pihak-pihak yang ikut menjual produk bajakan. Hal ini tentu berbeda dengan negara tetangga kita, Singapura. Pengawasan dari pemerintah di sana sangat ketat terhadap beredarnya software bajakan. Di sini terlihat peran pemerintah sangat besar dalam meningkatkan perilaku antipembajakan. Keseriusan pemerintah dalam menangani masalah pembajakan software sangat penting demi terciptanya perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
B. RUMUSAN MASALAH
Berikut Rumusan Masalah yang akan dibahas pada paper ini :
1. Ada Berapa banyak Jenis – jenis pembajakan software?
2. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran terhadap Hak Cipta yang terjadi di
Indonesia?
3. Bagaimanakah pemberlakuan sanksi terhadap para pelaku pelanggaran Hak Cipta?
4. Bagaimana upaya Pemerintah dalam meminimalisasi pembajakan software di Indonesia?
C. PEMBAHASAN
1. HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual)
“Hak atas Kekayaan Intelektual” (HaKI) merupakan terjemahan atas istilah “ Intellectual Property Right” (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci yaitu: “Hak”, “Kekayaan” dan “Intelektual”. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat: dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Sedangkan “Kekayaan Intelektual” merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir, HaKI merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas Kekayaan Intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku.
Hak itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Pertama, ``Hak Dasar (Azasi)”, yang merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Umpama: hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua, ``Hak Amanat/ Peraturan” yaitu hak karena diberikan oleh masyarakat melalui peraturan/perundangan. Di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, HaKI merupakan “Hak Amanat/Pengaturan”, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HaKI yang diberikan kepada individu dan kelompok. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible). Terlihat bahwa HaKI merupakan Hak Pemberian dari Umum (Publik) yang dijamin oleh Undang-undang. HaKI bukan merupakan Hak Azazi, sehingga kriteria pemberian HaKI merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik.
Undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo, dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791.
Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya konvensi Paris untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian konvensi Berne 1886 untuk masalah Hak Cipta (Copyright).Dan Software masuk dalam Hak Cipta yang dilindungi. Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak khusus untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan menyiarkan rekaman suara atau gambar dari pertunjukannya.
Pembajakan Software termasuk tindakan pidana yang melanggar Hak Cipta. Ketentuan pidana Hak Cipta, antara lain:
a) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberikan izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
b) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak membuat, memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan atau gambar dari pertunjukannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
c) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 150,000.000,00.
d) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak merusak atau membuat tidak berfungsinya teknologi kontrol yang dipergunakan untuk mengontrol hak pencipta dan pihak terkait diancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 45.000.000,00.
e) Ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta dirampas atau diambil alih negara untuk dimusnahkan.
f) Tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas adalah kejahatan[1].
2. Jenis – Jenis Pembajakan Software
Jenis-jenis Pembajakan Software yang Sering Dilakukan sebagai berikut :
1. Hardisk Loading
Jenis pembajakan software yang tergolong pada Hardisk Loading adalah pembajakan software yang biasanya dilakukan oleh para penjual komputer yang tidak memiliki lisensi untuk komputer yang dijualnya, tetapi software-software tersebut dipasang (install) pada komputer yang dibeli oleh pelangganya sebagai “bonus”. Hal ini banyak terjadi pada perangkat komputer yang dijual secara terpisah dengan software (terutama untuk system operasinya). Pada umumnya ini dilakukan oleh para penjual komputer rakitan atau komputer “jangkrik” (Clone Computer).
2. Under Licensing
Jenis pembajakan software yang tergolong pada Under Licensing adalah pembajakan software yang biasanya dilakukan oleh perusahaan yang mendaftarkan lisensi untuk sejumlah tertentu, tetapi pada kenyataanya software tersebut dipasang (install) untuk jumlah yang berbeda dengan lisensi yang dimilikinya (bisanya dipasang lebih banyak dari jumlah lisensi yang dimiliki perusahaan tersebut. Misalnya, suatu perusahaan perminyakan dengan nama “PT. Perusahaan Perminyakan” membeli lisensi produk AutoCAD dari perusahaan Autodesk. Perusahan tersebut membeli lisensi produk AutoCAD untuk 25 unit komputer diperusahaannya yang mempergunakan software AutoCAD sebagai aplikasi yang digunakan untuk menangani kebutuhan pekerjaan pada bidang perminyakan. Pada kenyataanya, “PT. Perusahaan Perminyakan” tersebut memiliki lebih dari 25 unit komputer yang menggunakan software AutoCAD, misalnya ada 40 unit komputer. “PT. Perusahaan Perminyakan” tersebut telahymelakukan pelanggaran Hak Cipta (Pembajakan software) dengan kategori Under Licensing untuk 15 unit computer yang dugunakan, yaitu dengan menggunakan software AutoCAD tanpa lisensi yang asli dari AutoDesk.
3. Conterfeiting
Jenis pembajakan software yang tergolong pada Conterfeiting adalah pembajakan software yang biasanya dilakukan oleh perusahaan pembuat software-software bajakan dengan cara memalsukan kemasan produk (Packaging) yang dibuat sedemikian rupa mirip sekali dengan produk aslinya. Seperti CD Installer, Manual Book, Dus (Packaging), dll.
4. Mischanneling
Jenis pembajakan software yang tergolong pada Mischanneling adalah pembajakan software yang biasanya dilakukan oleh suatu institusi yan menjualnya produknya ke institusi lain dengan harga yang relatif lebih murah, dengan harapan institusi tersebut mendapatkan keuntungan lebih (revenue) dari hasil penjuala software tersebut. Sebagai contoh misalnya Kampus BSI, bekerjasama dengan pihak Microsoft Indonesia untuk membeli lisensi produk Microsoft (Misalnya : Microsoft Windows Server 2003 = 10 Lisensi, Microsoft Windows XP Profesional = 100 Lisensi dan Minrosoft Office 2003 Enterprise Editions = 100 Lisensi). Karena Kampus Bina Sarana Informatika merupakan salah satu instrukusi pendidikan (kampus), maka pihak Kampus Bina Sarana Informatika mendapatkan harga khusus dari Microsoft Indonesia untuk pembelian lisensi (Academic License) atau bisa disebut Microsoft Volume License (MVL). Katakanlah untuk pembelian lisensi produk Microsoft Windows XP Profesional, Kampus Bina Sarana Informatika hanya membayar sebesar $ 2 / Lisensi. Kemudian untuk mendapatkan untung, melalui koperasi mahaiswa atau koperasi karyawannya pihak Kampus BSI menjual ke suatu perusahan software Windows XP Profesional berikut dengan lisensinya ke perusahan lain. Sebut saja perusahaan itu adalah “PT. Perusahan Lain”. Pihak Kampus BSI menjual software tersebut dengan harga $ 5 / Lisensi. Padahal secara resmi kalau pihak “PT. Perusahan Lain” untuk membeli satu lisensi produk software Microsoft Windows XP Profesional harus membayar $ 8 / Lisensi.
5. End user copying
Jenis pembajakan software yang tergolong pada End user copying adalah pembajakan software yang biasanya dilakukan oleh sesorang atau institusi yang memiliki 1 (satu) buah lisensi suatu produk software, tetapi software tersebiut dipasang (install) pada sejumlah komputer.
6. Internet
Jenis pembajakan software banyak dilakukan dengan menggunakan media internet untuk menjual atau menyebarluaskan produk yang tidak resmi (bajakan), seperti : software, lagu (musik), film (video), buku, dll dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (bisnis) .
3. Pelanggaran Hak Cipta di Bidang Software
Di Indonesia tingkat pembajakan terhadap hak kekayaan intelektual (HAKI) masih sangat tingi. Menurut rilis Business Software Alliance (BSA) untuk pembajakan software, berdasarkan penelitian International Data Corporation (IDC), pembajakan software di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 85 persen sehingga menyebabkan Indonesia menduduki peringkat kedelapan negara di dunia dengan kasus pembajakan tertinggi sedangkan di Asia Pasifik Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Vietnam (88 persen) dan Pakistan (86 persen).
Harus diakui, memproteksi Software dari tindakan pembajakan merupakan hal yang
tidak mudah. Peng-copy-an Software dapat dilakukan dengan cepat karena dukungan teknologi duplicator yang semakin canggih. Penggandaan Software saat ini bahkandapat dilakukan dalam jumlah yang banyak dan cepat menggunakan CD duplicator. Dampaknya, kerugian tidak hanya diderita dari praktik bisnis penjualan PC dengan Software illegal, tetapi juga praktek counterfeiting ini[3].
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU) Indonesia, pemberantasan praktek Software Piracy merupakan pekerjaan terbesar bagi Indonesia yang harus ditangani secara serius. Keseriusan Pemerintah dibuktikan dengan melakukan negoisasi secara langsung dengan Microsoft
yang menghasilkan MoU sebagai dasar untuk melegalkan seluruh Software Microsoft, baik Microsoft Windows maupun Microsoft office, yang saat ini telah terpasang dan digunakan oleh sebagian kantor instansi Pemerintah .
Harus diakui, meluasnya praktek pembajakan dan perdagangan produk-produk illegal, baik musik, film, maupun Software terjadi karena terbukanya peluang atau kesempatan untuk itu. Pada awal tahun 80an, peluang itu memang terbuka karena norma-norma pengaturan hukum yang longgar. Perlindungan hukum bagi karya cipta asing tidak terjamin oleh UU Hak Cipta. Sebab, perlindungan bagi karya asing di Indonesia hanya diberikan terhadap ciptaan yang pertama kali diumumkan di Indonesia atau Negara penciptanya memiliki perjanjian bilateral atau menjadi pihak dalam perjanjian multilateral yang sama dengan yang diikuti di Indonesia. Dalam perkembangannya, meski aturan hukum sudah disempurnakan, pelanggaran Hak Cipta tetap terjadi dan bahkan meluas seiring dengan demand yang meningkat. Dalam kerangka “kesempatan” atau peluang tersebut, terdapat dua variable yang terkait. Yaitu, variable permintaan pasar, yang terbentuk atas dasar rasio tuntutan harga murah. Yang kedua adalah
variabel supply berbasis motif bisnis, yaitu melakukan usaha dengan cara yang mudah
untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya yang ditempuh dengan melanggar hak-hak orang lain, menganggu kepentingan masyarakat dan merugikan Negara. Kedua variabel tersebut saling menunjang, yaitu mempertemukan kekuatan demand dan supply dalam bentuk
pasar yang makin lama makin meluas dan mengakar.
4. Sangsi Pidana Pelanggaran Hak Cipta
Tindak pidana di bidang hak cipta di dalam UU Hak Cipta 2002 diatur dalam Pasal 72, apabila dirinci mengenai jenisnya terdapat 8 (delapan) macam, yaitu:
a) Tindak pidana melanggar hak cipta Pembajakan hak cipta merupakan salah satu tindak pidana yang berupa perbuatan meniru atau menjiplak suatu ciptaan yang dilindungi hak ciptanya oleh UndangUndang. Seperti diketahui bahwa ketika sebuah ciptaan d wujudkan oleh pencipta maka sejak saat itu hak cipta dilahirkan. Hak cipta dilahirkan bukan karena proses pendaftaran ciptaan. Jika pencipta memberikan izin kepada pihak lain untuk memperbanyak ciptaan (lisensi) maka pihak tersebut sebagai pemegang hak cipta berhak juga memilik hak cipta yang sama atas ciptaan yang dilisensikan[5]. Tindak pidana pembajakan hak cipta diatur pada Pasal 72 Ayat (1) UU Hak Cipta 2002 yang berbunyi sebagai berikut:
1. "Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau dendi paling sedikit Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah) dan paling lamt 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah)''. Dalam pasal tersebut perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak menunjuk kepada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Hak Cipta 2002.
Kedua ketentuan penggunaannya bersifat alternatif sehingga hanya dapat diterapkan salah satu pasal saja dengan memilih mana yang paling tepi untuk diterapkan. Ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Hak Cipta 2002 menyebutkan: "Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi
pencipta atau pemegai hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaanm yang timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undang yang berlaku". Perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 72 Ayat (1) di atas adalah sengaja melanggar hak cipta atas suatu ciptaan karena tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta. Perbuatan tanpa hak yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perbuatan yang dilakukan tanpa izin.
Perbuatan melanggar hak cipta pada pokoknya berupa memperbanyak atau mengumumkan ciptaan. Memperbanyak ciptaan berarti menambah atau melipatgandakan dengan menggunakan bahan yang sama atau bahan yang lain. Sedangkan mengenai perbuatan mengumumkan sesuai dengan Pasal 1 angka 5 UU Hak Cipta 2002 pengertiannya luas, yaitu berupa pembacaan, penyiaran, Ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Hak Cipta 2002 menyebutkan: "Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegai hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan tan mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undang yang berlaku".
Perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 72 Ayat (1) di atas adalah sengaja melanggar hak cipta atas suatu ciptaan karena tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta. Perbuatan tanpa hak yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perbuatan yang dilakukan tanpa izin. Perbuatan melanggar hak cipta pada pokoknya berupa memperbanyak atau mengumumkan ciptaan. Memperbanyak ciptaan berarti menambah atau melipatgandakan dengan menggunakan bahan yang sama atau bahan yang lain. Sedangkan mengenai perbuatan mengumumkan sesuai dengan Pasal 1 angka 5 UU Hak Cipta 2002 pengertiannya luas, yaitu berupa pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan mengunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
2. Tindak pidana yang menyangkut perdagangan hasil pembajakan hak cipta Pada dasarnya orang meniru atau menjiplak ciptaan orang lain apalagi dalam jumlah banyak tujuannya tidak lain adalah untuk dijual agar mendapat keuntungan dari perbuatannya tersebut. Hal ini berakibat merugikan pencipta/pemegang hak cipta dan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 72 Ayat (2) UU Hak Cipta 2002.
Ketentuan pasal tersebut mengatakan: "barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak sebesar Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)". Dari ketentuan di atas perbuatan yang dilarang selain memperdagangkan barang hasil pelanggaran hak cipta, juga perbuatan yang dilakukan sebelum terjadinya jual beli.
Perbuatan yang dimaksudkan adalah menyiarkan dalam hal ini pedagang menawarkan baik dengan lisan maupun dengan media surat kabar dan elektronik seperti radio maupun televisi.
3. Tindak pidana memperbanyak penggunaan program komputer untuk kepentingan komersial tanpa izin Selanjutnya tentang perbuatan memperbanyak penggunaan program komputer untuk kepentingan komersial tanpa izin merupakan tindak pidana. Perbuatannya dapat menimbulkan kerugian pada pencipta/pemegang hak cipta karena keuntungan yang seharusnya diperoleh berpindah kepada pelaku kejahatan. Tindak pidana tersebut diatur pada Pasal 72 Ayat (3) UU Hak Cipta 2002 yang berbunyi sebagai berikut: "Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)".
Perbuatan memperbanyak penggunaan program komputer harus bertujuan untuk kepentingan komersial. Dengan terungkap adanya kepentingan tersebut pelaku sudah dapat dipidana dan tidak perlu dibuktikan adanya peristiwa jual beli maupun keuntungan yang diperoleh pelaku karena ketentuan Pasal 72 Ayat (3) merupakan delik formil. Selain delik tersebut tindak pidananya juga sebagai delik dolus karena perbuatannya harus dilakukan secara sengaja.
Daftar Pustaka
[1] http://kelompokcibi456.blogspot.com/2013/05/pembajakan-software.html
[2] http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2012/11/30/pembajakan-musik-digital-indonesia507295.html. Selasa, 2 April 2013.
[3] Hutagalung, S. (2012). Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya dalam Bidang Pembangunan. Jakarta : SINAR GRAFIKA. Tim Pengajar. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Manado : Departemen
Pendidikan Nasional Universitas Sam Ratulangi Fakultas Hukum.
[4] Damian, E. (2001). Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta 1997 Dan Perlindungannya Terhadap Buku Serta Perjanjian Penerbitannya.
Bandung : PT. ALUMNI.
[5] Supramono, G. (2010). Hak Cipta danAspek-aspek Hukumnya. Jakarta : PT. Rineka Cipta